Suatu hari ditepian sebuah sungai, tampak dua orang kakak beradik sedang bercanda dengan riang. Tiba-tiba, karena kurang hati-hati, tanpa sengaja si adik terpeleset dan terjatuh ke dalam sungai yang cukup dalam. Malangnya mereka berdua tidak bisa berrenang. Sambil berteriak-teriak ketakutan si kakak meminta pertolongan. Sayang, meski pertolongan sempat datang, tetapi semuanya sudah terlambat. Si adik sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Orang tua kedua anak itu, sanak saudara serta orang-orang yang mengenal mereka, walau merasa berduka dengan meninggalnya si adik, tetapi tidak ada yang menyalahkan sang kakak. Mereka menerima musibah itu dengan lapang dada dan menganggap bahwa semua itu sudah suratan takdir dari Sang Maha Kuasa.
Namun, perasaan yang berbeda dialami sang kakak. Sejak kejadian itu, dia berubah menjadi anak yang pemurung, suka menyendiri, ia bahkan tidak berani menghadapi orang-orang. Hatinya senantiasa didera perasaan bersalah. Setiap hari dia sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Dia bahkan memvonis diri telah membunuh adik yang sangat disayanginya.
Walau orang-orang terdekatnya sudah berusaha memberi pengertian bahwa kejadian itu adalah sebuah kecelakaan semata, dia tetap kukuh dengan sikapnya. Sang kakak merasa bahwa dirinyalah yang membuat adiknya terbunuh dalam peristiwa itu.
Hingga, suatu ketika ibunya sakit keras. Sang kakak pun setia menemani ibunya karena ia merasa ketakutan bakal kehilangan orang yang dicintainya lagi.
"Anakku, ibu telah kehilangan anak-anak ibu."
"Tidak ibu, kan masih ada aku, bu." Ujar sang kakak sambil terisak.
"Ibu tahu, Kamu ada tapi seperti tak ada. Sejak kejadian kepergian adikmu, jiwamu pun seperti ikut dibawa pergi". Apalagi yang tersisa bagi kami, ibu dan ayahmu?
Rumah ini terasa mati tanpa semangat dan keceriaan seperti dulu. Nak, ibu tahu kamu sangat menyanyangi adikmu, tetapi dia telah pergi untuk selamanya. Caramu menghukum diri tak akan mengembalikan adikmu lagi, bahkan membuat ibu dan ayah tambah sedih. Ibu rasa cukup sudah dukamu. Masih ada kami, ayah dan ibumu yang masih menyanyangi dan membutuhkanmu," ucap si ibu memohon sambil mengusap mata tuanya yang tampak lelah.
Sambil terisak, si anak berkata, "Maafkan aku, bu. Selama ini tanpa sengaja ternyata telah membuat ibu dan ayah bersedih. Aku berjanji akan mengubah pola pikir dan sikap yang keliru selama ini. Aku akan berusaha mengubah diri dan membahagiakan ibu dan ayah. Sekali lagi, maafkan aku bu."
Seusai berjanji untuk mengubah sikapnya, si anak pun memeluk ibunya dengan kencang. Mereka pun berpelukan dalam tangis penuh haru.
" Dalam putaran kehidupan ini, sering kali terjadi karena ulah kita yang tanpa disengaja, berdampak pada terjadinya musibah atau kerugian pada diri kita maupun orang lain. Hal ini kadang menyebabkan timbulnya rasa bersalah, sulit memaafkan dan cenderung terus menerus menghukum diri sendiri. Padahal, bukankah beban yang dipikul justru akan membawa kita pada penderitaan yang berkepanjangan? Apakah dengan perasaan bersalah seperti itu keadaan lantas bisa berubah? Apapun yang terjadi, kita harus bisa menerima setiap resiko dengan jiwa besar. Beri kesempatan pada diri sendiri untuk menata ulang kehidupan dengan berani menghadapinya. Dengan berjuang keras hari demi hari, niscaya keberadaan kita senantiasa punya nilai bagi diri sendiri dan orang lain."