Tak ada lagi romantisme daro lagu anak-anak NAIK DELMAN (ciptaan Ibu Sud) di masa sekarang. Lagu ini akan menjadi hambar jika dokar, andong, atau delman tak lagi berjaya seperti dulu.
Tak ada lagi ruang untuk berseliweran dokar di jalan raya, karena alat transportasi ini sudah terpinggirkan oleh kendaraan bermesin bernama angkot, taksi, bis kota, bahkan ojek.
Saat beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang gencar mengkampanyekan "Car Free Day" sebagai hari tanpa asap kendaraan bermotor, tiba-tiba ingatan ini tertuju pada keberadaan dokar.
Betapa dokar, kereta beroda yang ditarik seekor kuda menjadi pilihan tepat untuk mendukung pelaksanaan hari tanpa emisi di kota besar. Dokar bisa menjadi ikon transportasi pilihan di program Car Free Day.
Sebagai sarana transportasi yang bisa berkompromi dengan alam dan lingkungan, dokar menjadi sangat penting untuk kembali dilirik. Selain itu, ongkos naik dokar relatif lebih murah ketimbang naik ojek, becak, atau taksi.
Tetapi, masihkan dokar menjadi isu yang menarik?? ketika kendaraan sarana transportasi tradisional ini makin tergusur karena himpitan globalisasi transportasi bermesin canggih??
Di beberapa kota, populasi dokar kian sedikit. Itupun hanya di titik-titik tertentu, misalnya area yang menghubungkan jalan protokol dan suatu kawasan perkampungan. Atau dari pasar ke desa. Ini pun sekarang ini hanya ada di kota-kota kecamatan bukan di tengah kota.
Sudah suratan nasib, dokar di zaman sekarang bukan lagi menjadi sarana transportasi umum, tetapi hanya sebagai alat transportasi wisata. Di DKI Jakarta, dokar lebih banyak dimanfaatkan sebagai sarana turistik, misalnya di seputar Tugu Monas.
Di Yogyakarta, tempat-tempat wisata sejarah (keraton) saling berdekatan di tengah kota, sehingga pemkot sangat memperhatikan keberadaan dokar wisata ini. Demi membela keberadaan dokar itulah, saat ini gencar dipropagandakan agar tradisi dokar tetap lestari...
0 Komentar:
Posting Komentar